Minggu, 11 Oktober 2009

Iron Man



IRON MAN
Superhero Iron Man dari komik karya Marvel akhirnya diboyong ke layar lebar. Tokoh manusia berbaju besi yang kali pertama diterbitkan pada Maret 1963 ini berkisah tentang seorang miliuner genius pemilik pabrik senjata Tony Starks (Robert Downey Jr.) yang diculik oleh kawanan teroris dan dipaksa untuk membuat sebuah senjata pemusnah massal yang baru saja diproduksi oleh perusahaan Stark.

Awalnya, Tony yang terluka karena sebuah ledakan diselamatkan oleh para teroris yang akhirnya malah menawan Tony untuk tujuan membuat senjata bernama rudal Jericho itu. Di dalam tawanan ini, Tony yang terluka diselamatkan oleh Yinsen (Shaun Toub) yang membuatkan sebuah alat untuk menahan pecahan peluru yang ada di tubuh Tony.

Awalnya Tony Stark menolak tuntutan para teroris itu namun setelah mendapat siksaan dari para teroris itu, Tony setuju walaupun sebenarnya ia punya rencana sendiri. Dengan bantuan Yinsen, Tony membuat baju zirah yang dilengkapi dengan beberapa senjata dan roket. Rencananya, Tony akan memakai armor itu untuk membebaskan Yinsen dan dirinya dari para teroris.

Sayangnya rencana itu harus gagal karena para teroris keburu menyerbu masuk karena curiga dengan usaha Tony. Yinsen tewas dalam usaha untuk mengulur waktu agar Tony sempat masuk ke dalam baju besinya.

Tony berhasil lolos dan ditemukan para tim pencari yang menyisir gurun setelah peristiwa penyerangan pada rombongan Tony. Tony yang masih dalam kondisi buruk berhasil kembali ke Amerika Serikat setelah 1 minggu dinyatakan hilang.

Sekembalinya Tony ke Amerika, pengusaha senjata itu memutuskan untuk berhenti memproduksi senjata karena menyadari bahwa selama ini senjata produksi perusahaannya telah dipergunakan oleh para teroris untuk menyebar mala petaka. Ide ini ditolak mentah-mentah oleh Obadiah Stane (Jeff Bridges) yang menjadi mitra Tony. Tony kemudian disarankan untuk beristirahat dulu dari aktivitas bisnis.

Ternyata Obadiah memanfaatkan waktu ini untuk memproduksi senjata dan menjualnya ke para teroris yang sanggup membayar mahal untuk senjata produksi Stark. Tony tidak menyadari ini dan menyibukkan dirinya menyempurnakan baju besi yang digunakannya untuk meloloskan diri dari para teroris. Di saat yang sama Tony juga menyempurnakan alat yang diciptakan Yinsen untuk menyelamatkan dirinya.

Saat melihat di TV terjadi kerusuhan yang terjadi di sekitar daerah tempat Tony dulu disandera, Tony terpanggil untuk datang menyelamatkan para penduduk setempat. Tony pun lalu masuk ke dalam baju besinya dan muncul sebagai penyelamat.

Di saat yang hampir bersamaan, para teroris ternyata berhasil menemukan baju besi yang digunakan Tony untuk meloloskan diri dan memberikannya pada Obadiah. Obadiah lalu membuat teknologi yang sama, bahkan lebih canggih untuk menghadapi Tony Stark yang dianggapnya akan menghalangi usahanya dalam bidang jual beli senjata.

Mau tak mau, Tony yang kini menjadi Iron Man harus menghadapi Obadiah yang kini telah menciptakan baju super yang disebutnya Iron Monger.

Hollywood tampaknya masih tak bosan mengadaptasi tokoh komik ke dalam film-film mereka. Kali ini tokoh superhero Iron Man yang difilmkan. Bila dibandingkan dengan beberapa film senada, film ini tampak disajikan lebih baik walaupun mungkin belum sebagus BATMAN BEGINS.
Humor-humor segar yang terselip di beberapa adegan membuat film ini jadi enak untuk dilihat. Sayangnya angle pengambilan gambar terasa biasa-biasa saja. Tidak ada kesan apa pun yang terasa dari gambar-gambar yang disajikan.

Dari sisi cerita memang tak banyak yang bisa diharapkan, hampir semua film bergenre ini selalu mudah ditebak endingnya. Untungnya acting Robert Downey Jr, Terrence Howard, Gwyneth Paltrow, dan Jeff Bridges masih bisa membuat kita bertahan duduk menunggu film berakhir. Masing-masing tampak perfect membawakan peran mereka.

Proses adaptasi Tony Stark pada baju besinya pun membuat jalan cerita seolah wajar dan tidak dipaksakan. Walaupun penggarapan CGI-nya layak mendapat jempol, tapi ada beberapa adegan yang masih terasa mengganjal logika.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Narnia 2: Prince Caspian



NARNIA 2 : PRINCE CASPIAN

THE CHRONICLES OF NARNIA: PRINCE CASPIAN merupakan serial film yang diangkat dari novel fantasi karya C.S. Lewis, di mana sebelumnya telah dirilis THE CHRONICLES OF NARNIA: THE LION, THE WITCH AND THE WARDROBE (2005). Bukunya sendiri terdiri dari tujuh buku dan ditujukan untuk anak-anak, yang mulai ditulis pada 1950 sampai 1956. Dalam buku itu mengandung unsur mitologi Kristen, Yunani dan Romawi, serta dongeng Inggris dan Irlandia.

Peter, Susan, Edmund, dan Lucy Kembali lagi ke tanah Narnia setelah 1 tahun kembali ke dunia mereka. Dalam masa yang setara dengan 1.300 tahun Narnia itu banyak hal telah yang berubah. Narnia yang sebelumnya berada dalam puncak kejayaannya sekarang berada di bawah tirani Raja Miraz yang merebut kekuasaan dari tangan Pangeran Caspian.

Raja Miraz yang membunuh ayah Pangeran Caspian masih merasa terancam dengan masih hidupnya sang pangeran. Ia berencana untuk menghabisi Pangeran Caspian agar tahta yang ia pegang nanti akan jatuh ke tangan anaknya. Untungnya Pangeran Caspian berhasil meloloskan diri dan bergabung dengan para makhluk dan binatang yang hidup dalam persembunyian.

Dengan bantuan para makhluk itu, Pangeran Caspian membangun tentara untuk menghadapi tentara Raja Miraz yang terkenal kejam. Walaupun pada awalnya, pasukan Pangeran Caspian sempat mengalami kekalahan karena kesalahan strategi, namun dengan bantuan Peter, Susan, Edmund, dan Lucy angin segar kini berada di pihak Pangeran Caspian.

Sekuel dari THE CRONICLES OF NARNIA ini masih diadaptasi dari novel karya C.S Lewis bahkan naskah film ini sudah ditulis sebelum THE CHRONICLES OF NARNIA: THE LION, THE WITCH AND THE WARDROBE dirilis. Andrew Adamson sang sutradara bermaksud menggunakan casting yang sama sehingga film sekuel ini harus dibuat sebelum para pemain menjadi terlalu tua untuk peran yang mereka bawakan.
Film ini banyak mendapat pujian dari para kritikus film. Permainan keempat pemeran utama dalam sekuel kedua ini jauh lebih baik. Penggunaan special effect dan dan penggarapan setting pun jauh lebih menarik untuk dinikmati. Bila dibanding dengan sekuel pertamanya, film ini terasa lebih suram dan tak lagi menampakkan unsur keluguan seperti sebelumnya.

30 Days of Night



30 DAYS OF NIGHT
Film yang bercerita tentang manusia dan vampir ini mengambil setting di kota Barrow di negara bagian paling utara Amerika yaitu Alaska. Setiap kali memasuki musim dingin, Barrow adalah wilayah yang terputus dari peradaban. Selama 30 hari, distrik paling utara di Alaska itu menjalani 'rutinitas' rutin, yaitu terisolasi dari negeri induk mereka, Amerika Serikat, akibat badai salju yang merintangi jalur transportasi dan komunikasi.
Tak hanya badai salju, kota ini juga akan mengalami kegelapan panjang selama 30 hari. Hal ini memungkinkan terjadi karena perputaran poros bumi mengalami pergeseran sekian derajat setiap tahunnya sehingga mengakibatkan beberapa bagian utara bumi tidak mendapatkan sinar matahari.

Setelah berabad-abad tinggal dalam kegelapan, setiap pagi bersembunyi agar tidak musnah oleh sinar matahari, vampir merasa menemukan tempat baru di mana mereka bisa melanjutkan hidup abadinya tanpa merasa kelaparan. Segelintir kaum terkutuk yang tersisa dan masih bertahan di bumi ini juga tak perlu lagi bersembunyi meski pagi menjelang.

Menjelang kegelapan datang, terjadi kematian misterius anjing-anjing peliharaan dan rusaknya sebuah helikopter. Tak hanya itu, petugas penjaga gardu listrik tewas dengan kepala terpenggal dan pasokan listrik dan komunikasi terputus.

Sebelumnya, sheriff Eben Oleson (Josh Hartnett) menemukan beberapa ponsel milik penduduk yang hilang ditemukan telah berubah bentuk menjadi arang. Kecurigaan jatuh ke seorang pendatang yang tidak diketahui namanya (Ben Foster), setelah ia melakukan sebuah insiden di kafetaria setempat.

Ketiadaan sinar matahari dan listrik menjadi keuntungan para vampir untuk menguasai kota. Sang sheriff pun menentukan status berbahaya bagi Burrow. Dia meminta penduduk untuk tidak meninggalkan rumah dan berjaga-jaga dengan senjata mereka.

Namun semua sia-sia, para vampir pun dengan mudah menebar teror di kota ini tanpa ada kesempatan bagi penduduk untuk menyelamatkan diri atau meminta bantuan dari luar. Dalam sebuah serbuan kilat, vampir-vampir itu membantai seluruh penduduk kota tanpa pandang bulu. Dari anak kecil hingga lanjut usia.
Makhluk berkuku panjang itu menggigit, menghisap darah, bahkan sebelumnya menyiksa para korbannya. Mereka juga sengaja tidak menjadikan penduduk kota menjadi seperti mereka, karena mereka menganggap manusia hanya sebagai santapannya saja. Dengan kejam, mereka membantai manusia, Barrow pun menjelma kota mati dengan mayat bergelimpangan, hingga tersisa hanya beberapa saja.

Di antara yang tersisa ini, terdapat Eben Oleson, Stella Oleson (Melissa George), Jake Oleson (adik Eben), dan para kawan-kawannya. Mereka harus bertahan hidup selama 30 hari hingga badai salju lewat dan cahaya matahari kembali menyinari.

Sebuah duel tak seimbang terjadi antara Eben dan pimpinan vampir, Marlow (Danny Huston) pada malam terakhir. Mampuhkah Eben menyelamatkan kawan-kawanya dari serangan vampir? Bagaimana nasib Eben?
Film yang diadapatasi dari sebuah novel grafis (komik) berjudul sama karya penulis Steve Niles dan digambar oleh Ben Templesmith yang diterbitkan oleh IDW Comics pada tahun 2002 ini disutradarai oleh David Slade yang sebelumnya dikenal sebagai sutradara video klip.

30 DAYS OF NIGHT adalah pentas kekejian para vampir, begitu dingin dan kejam. Bagi penyuka film dengan cipratan darah, kepala terpenggal, dan kekejaman tiada tara, film ini sangat sesuai. Apalagi efek blood and gore yang dibuat benar-benar bagus sehingga menimbulkan rasa jijik dan ingin muntah. Sayangnya ada beberapa pertanyaan mendasar yang tidak terjelaskan, seperti sebenarnya siapa vampir-vampir ini? Dari mana mereka berasal?

Jadi buat yang tidak suka darah, lebih baik menonton film yang lain. Bagi yang suka darah, jangan mengajak anak di bawah umur.

The Happening



THE HAPPENING
Virus aneh yang menyebar lewat udara menyerang kota Philadelphia. Tak ada yang bisa lolos dari serbuan virus aneh ini. Korban telah berjatuhan di banyak tempat. Virus aneh ini membawa dampak buruk buat manusia. Yang tertular virus ini akan melakukan bunuh diri bahkan tanpa sebab yang jelas.

Elliot Moore (Mark Wahlberg) seorang guru ilmu pengetahuan alam berusaha membawa istrinya Alma (Zooey Deschanel) melarikan diri dari wabah yang belum jelas asal-usulnya itu. Dengan mengendarai mobil menuju luar kota, Elliot berharap selamat dari wabah itu. Atau setidaknya untuk sementara waktu.

Tidak ada yang tahu pasti seberapa jauh virus itu telah menyebar, dan masih adakah tempat yang aman untuk berlindung dari serbuan virus ganas tersebut. Bahkan pihak berwenang pun tidak mengetahui asal muasal virus ini dan bagaimana cara bekerjanya.

Sutradara M Night Shyamalan memang sering menggali topik-topik yang tidak umum. Film-film karyanya cenderung membuat penonton berpikir keras akan pesan yang ingin disampaikan sang sutradara. Film ini juga bukan pengecualian. Ada pesan tersembunyi yang ingin disampaikan Shyamalan dalam balutan cerita horor ini.

Sayangnya, beberapa detail dari film ini justru membuat orang semakin bingung dan tak mengerti jalan cerita dari film ini. Entah karena kesengajaan atau karena kesalahan memasukkan detail yang malah tak bisa dijawab oleh ending cerita, yang jelas ada beberapa scene yang jadi tak logis lagi dalam jalinan cerita.
Mungkin ada penonton yang berharap bahwa Shyamalan akan 'menipu' mereka lagi seperti dalam kasus film THE SIXTH SENSE. Tapi saat film berakhir, tak ada kesimpulan yang menjawab semua pertanyaan yang ada di sepanjang film. Dan yang jelas tak ada twisted plot seperti dalam THE SIXTH SENSE.

Peran Mark Wahlberg dan Zooey Deschanel pun tak terlalu mengagumkan dalam film ini. Bahkan dialog-dialog yang mereka bawakan terdengar cukup konyol dan tak alami. Entah karena Mark yang tak mampu menghayati naskah atau sang sutradara yang tak bisa mengarahkan aktor dan aktris dalam membawakan dialog tersebut.

Akhirnya film ini tak jauh beda dengan THE VILLAGE dan LADY IN THE WATER yang mengecewakan. Atau mungkin dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna dan memahami cara berpikir M Night Shyamalan agar bisa menikmati film ini.

Saw V



SAW V
Jigsaw (Tobin Bell) mungkin sudah tewas, namun tampaknya pewarisnya akan segera melanjutkan misi si jenius Jigsaw untuk melakukan pembunuhan dengan menggunakan jebakan-jebakan maut.

Setelah semua korban gagal melalui ujian yang diberikan oleh Jigsaw dan berakhir tewas dengan cara mengenaskan dalam jebakan yang dibuat Jigsaw, sekarang semuanya terserah detektif Hoffman (Costas Mandylor) untuk melanjutkan misi Jigsaw.

Bagian kelima dari sekuel SAW ini rencananya akan dilepas Lionsgate sekitar Oktober mendatang. Masih seperti 4 film sebelumnya, sang sutradara David Hackl masih menyuguhkan jalan cerita berbelit-belit, ketegangan, dan darah yang berceceran di mana-mana. Bagi yang tak tahan melihat darah, film ini bukan untuk Anda.

Batman: The Dark Night



BATMAN: THE DARK NIGHT
Di saat kota Gotham mulai 'bersih' dari kejahatan, tiba-tiba saja muncul serangkaian perampokan dan pembunuhan yang didalangi seorang penjahat yang berwajah aneh, Joker (Heath Ledger). Bruce yang semula berharap bisa beristirahat dari 'perannya' sebagai Batman (Christian Bale) terpaksa harus turun tangan melacak pelaku kejahatan ini.

Dalam melakukan perampokan, Joker terkenal tak ragu-ragu untuk menghabisi nyawa korban bahkan anak buahnya sendiri hanya untuk membuktikan bahwa ia tak main-main. Setelah mengacaukan kota Gotham, Joker memberikan tawaran menggiurkan pada sindikat kejahatan kota Gotham yang mulai ketakutan pada Batman. Dengan imbalan setengah dari asset mereka, Joker akan menghabisi Batman. Joker kemudian memberikan tuntutan agar kota Gotham menyerahkan Batman atau Joker akan membunuh lebih banyak orang lagi sampai Batman menyerahkan diri.


Dengan bantuan Letnan James Gordon (Gary Oldman), jaksa Harvey Dent (Aaron Eckhart), dan Rachel Dawes (Maggie Gyllenhaal), Batman kemudian berusaha melacak Joker ini. Di saat yang sama warga kota Gotham mulai merasa bahwa keselamatan mereka terancam sampai mereka menyerahkan Batman pada Joker.


Saat Bruce akhirnya memutuskan akan mengaku bahwa ialah sebenarnya yang selama ini menjadi Batman, Harvey justru tampil dan mengaku bahwa ia adalah Batman. Polisi pun kemudian menangkap Harvey dengan maksud menyerahkannya pada Joker. Saat Harvey sedang berada dalam mobil yang akan mengantarnya menuju tempat Joker, mobil ini diserang oleh Joker dan anak buahnya. Dalam pertempuran ini, Joker akhirnya berhasil diringkus namun Harvey dan Rachel menghilang.


Ternyata anak buah Joker berhasil menangkap Harvey dan Rachel dan berencana membunuh mereka berdua. Batman yang berusaha melacak keberadaan Harvey Rachel datang terlambat. Rachel meninggal sedangkan Harvey menderita luka bakar yang lumayan parah. Sementara di saat yang sama Joker justru berhasil melarikan diri dari tahanan. Namun masalah Batman belumlah berakhir. Harvey yang sebelah wajahnya terbakar justru menyimpan dendam pada Batman, Gordon, dan Joker akhirnya menjadi Two Face, musuh besar Batman. Sementara di dalam Wayne Enterprise sendiri ada seorang yang mengetahui bahwa Bruce Wayne adalah Batman.


Film THE DARK KNIGHT ini adalah kelanjutan dari film BATMAN BEGINS yang dirilis tahun 2005 kemarin. Penyutradaraan film ini masih dipercayakan pada Christopher Nolan yang juga menggarap BATMAN BEGINS. Para pemeran lama pun masih tetap dipercaya memegang peran yang sama dalam film ini kecuali Katie Holmes yang dalam film ini digantikan oleh Maggie Gyllenhaal.

Walaupun mengambil tema superhero, namun film ini jauh dari berkesan fantastis dalam artian bahwa film ini masih berpijak pada logika dan hukum alam kecuali mungkin adegan saat Batman membengkokkan laras senapan dengan tangan kosong. Karakter Batman tak pernah digambarkan sebagai tokoh yang memiliki kekuatan super seperti halnya superhero lain. Tokoh ini masih bisa terluka dan yang lebih penting Batman masih punya emosi naluri sebagai manusia biasa.


Dalam film ini, pembentukan karakter pun berjalan dengan wajar. Artinya tak ada tokoh jahat yang tampil tanpa latar belakang psikologis yang 'membenarkan' tindakannya. Misalnya saja tokoh Two Face yang berubah menjadi tokoh jahat karena dendamnya setelah Rachel, kekasihnya, meninggal dalam sebuah insiden penyanderaan. Titik balik ini pun berjalan mulus tanpa ada kesan bahwa perubahan psikologis yang dialami Harvey jadi dipaksakan.

Yang menarik mungkin adalah akting Heath Ledger yang bisa dibilang memukau. Tak percuma Heath menghabiskan waktu 1 bulan menyendiri untuk 'mendalami' karakter tokoh Joker yang sadis. Heath mampu memberikan definisi baru pada musuh besar Batman ini. Heath mampu menuangkan definisi 'sadis' dan 'psikopat' pada perannya sebagai Joker.


Timing dialog yang dibawakan para pemeran lain pun terasa alami dan tak ada kesan bahwa kata-kata itu sudah dikonsepkan sebelumnya. Begitu juga dengan teknik sinematografi dan sudut pengambilan gambar yang menyatu dengan 'jiwa' dari film yang penuh koflik batin dan berkesan suram ini. Ini tentunya tak lepas dari campur tangan sang sutradara Christopher Nolan yang juga mengerjakan film-film kelas atas seperti MEMENTO, INSOMNIA atau THE PRESTIGE.

Adegan pertempuran Batman sebagian besar diambil dari jarak dekat sehingga agak sulit diikuti. Bisa jadi ini sebagai antisipasi karena Christian Bale tentunya tak akan mampu bergerak dengan sangat lincah dengan pakaian seperti itu.

Penyelesaian film ini pun terasa masuk akal. Tak ada kesan bahwa Batman adalah 'segalanya'. Mungkin ini agak sedikit menyimpang dari kisah asli dalam komik. Namun secara keseluruhan THE DARK KNIGHT adalah tontonan yang tak berusaha menggurui atau menganggap bodoh penonton.

The House Bunny



THE HOUSE BUNNY
Shelley Darlington (Anna Faris) adalah seorang waitress di Playboy Club. Selama 9 tahun terakhir, Shelley tinggal di Playboy Mansion atau tempat tinggal Hugh Hefner sang pemilik majalah Playboy. Namun karena usia yang tak lagi muda, Shelley akhirnya didepak oleh para Playboy Bunny (waitress) lain yang tinggal di sana.

Karena selama ini Shelley tak pernah punya keterampilan lain dan tak punya banyak tabungan, Shelley terpaksa harus berkeliaran di jalanan kota Los Angeles. Nasib membawa Shelley ke sebuah rumah tempat perkumpulan mahasiswi bernama Zeta Alpha Zeta.

Ketujuh mahasiswi yang tinggal di sana terancam diusir dari asrama mereka oleh kelompok mahasiswi lain dan hanya Shelley yang mampu melindungi ketujuh orang mahasiswi itu dari ancaman kelompok Phi Iota Mu. Saat para wanita itu semakin dekat, maka mau tak mau mereka harus berhenti berpura-pura dan mulai menjadi diri mereka sendiri.

Menilai sebuah film komedi kadang memang tak mudah. Banyak faktor seperti tingkat pendidikan, budaya, selera, bahkan sampai wawasan sangat menentukan lucu atau tidaknya sebuah film humor. Begitu juga dengan film THE HOUSE BUNNY ini. Film seperti ini sebenarnya punya potensi menjadi lucu namun di sisi lain ia juga berpeluang untuk jadi membosankan.


Dari sisi cerita, sebenarnya tak ada yang baru dalam film ini. Ide dasar film ini bisa jadi sangat mirip dengan film LEGALLY BLONDE atau CLUELESS yang juga berkisah tentang 'petualangan' gadis berambut pirang yang di Amerika sana selalu diidentikkan dengan 'tak punya otak'. Kelucuan yang coba ditampilkan sebenarnya lebih bersifat harfiah dan pada saat film berakhir, kelucuan itu sudah tak lagi lucu.

Logika juga bukan salah satu pilihan untuk menilai film seperti ini. Kalau Anda perhatikan benar-benar, sebenarnya banyak hal yang tak logis yang ditampilkan film ini namun harus dimaklumi bahwa kadang itu memang bukan salah satu pertimbangan sang sutradara dalam membuat film-film seperti ini.


Yang cukup menarik dari film ini justru adalah akting Anna Faris yang berperan sebagai Shelley Darlington. Film komedi memang bukan barang baru bagi Anna. Aktris ini juga tampil dalam franchise SCARY MOVIE. Setelah cukup lama berperan sebagai gadis 'bodoh' dalam SCARY MOVIE, bisa dibilang penampilan Anna dalam THE HOUSE BUNNY jauh lebih baik. Sayangnya itu tak diimbangi dengan naskah film yang seimbang. Akibatnya, di beberapa adegan potensi yang dimiliki Anna Faris memang seolah sia-sia.

Terlepas dari itu semua, sebuah film humor memang tak bisa dianggap sukses bila tak mampu memancing tawa. Dengan parameter itu, maka bagus tidaknya film ini kembali pada sesuai atau tidaknya jenis humor yang ditawarkan dengan selera Anda. Sebagai sebuah hiburan yang tak memerlukan banyak pemikiran, film ini layak juga dijadikan pertimbangan.